Cerita Pendek: “Titik Terendah”

  • 08:59 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Jalan menuju kesuksesan bukanlah jalan yang mudah, kita harus melewati banyak kegagalan dan cobaan untuk meraih kesuksesan. Cacian dan hinaan sudah biasa terlontar dari bibir orang-orang yang berkelimpangan harta, hanya sebuah senyuman yang menjadi balasan. Tak ada gunanya untuk membalas tindakan seperti itu, tapi yang harus dilakukan sebagai balasan yang setimpal adalah tunjukkan pada dunia bahwa kau bisa meraih impianmu sendiri.

Rasa lelah dan lapar sudah biasa Rayna rasakan. Membantu kedua orangtuanya sudah menjadi kewajiban. Gelas-gelas plastik yang biasa orang buang, dia kumpulkan kembali, itu adalah sebuah rezeki yang diberikan Tuhan untuknya. Meskipun setiap hari gelas-gelas plastik yang ia dapatkan tidak banyak, setidaknya Rayna bisa membawa pulang makanan untuknya dan keluarga dari hasil penjualan gelas-gelas plastik tadi. Hidupnya yang jauh dari kata berkecukupan tidak membuatnya patah semangat untuk meraih impiannnya. Rayna ingin menjadi orang sukses di kehidupan mendatang agar bisa bermanfaat untuk orang banyak dan untuk keluarganya.

Sepulang dari sekolah Rayna langsung pulang ke rumah, berganti seragam menjadi baju biasa tanpa makan terlebih dahulu. Berjalan ke samping rumah untuk mengambil peralatan memulung. Seiring mata memandang, banyak sekali sampah berserakan di jalan, sampah masyarakat. Hanya sedikit masyarakat yang sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan, mereka semua tak tahu bagaimana cara merawat lingkungan dengan baik. Sampah-sampah yang mereka buat, mereka tinggalkan begitu saja karena terlalu mengandalkan petugas kebersihan. Rayna sudah beberapa menit memulung, gelas-gelas plastik yang dia kumpulkan sudah memenuhi sampai setengan karung, senyuman tak pernah luntur menghiasi wajahnya. Gadis cantik dan pintar seperti Rayna tidak sepatutnya banting tulang untuk menghidupi keluarga, tapi apa boleh buat inilah takdir yang diberikan Tuhan untuknya dan ia harus dengan lapang dada menerima kenyataan.

Rayna tinggal di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu yang saat ini sudah tidak lagi kuat seperti dulu, rumah sederhana dan apa adanya. Ayahnya bekerja sebagai pemulung sama seperti Rayna, sedangkan Ibunya bekerja sebagai tukang jahit. Kedua orangtua Rayna tidak tahu mengenai dirinya yang bekerja. Mereka melarang Rayna untuk bekerja, cukup kedua orangtuanya saja yang berusa sekuat tenaga untuk menghidupi anak mereka. Rayna tidak tega melihat kedua orangtunya bekerja mati-matian hanya untuk membiayai sekolahnya. Tak terasa Rayna sudah menyusuri jalanan, sampah-sampah yang ada dia pungut dengan senang hati meskipun bukan sampah yang seperti itu ia cari. Rayna sangat senang melihat pemandangan sekitar yang bersih. Kita sudah diberikan tempat kepada Tuhan untuk hidup dan menetap meskipun sementara, seharusnya kita semua menjaga bumi dengan baik seperti bumi yang telah memberikan banyak kelimpahan alam untuk kita bukan malah sebaliknya yaitu tidak menjaga dan malah merusak bumi.

Karung yang digunakan Rayna sebagai tempat mengumpulkan gelas dan botol plastik sudah penuh. Senyumnya kembali terukir, ada kesenangan tersendiri yang ia rasakan meskipun penghasilannya hanya sedikit, setidaknya Rayna bisa memberikan uang hasil jerih payahnya kepada orangtuanya dan menabung sisanya. Sekarang Rayna jalan menuju tempat pengumpulan gelas dan botol plastik untuk dijual. Sebelum masuk ke area penimbangan, Rayna terlebih dahulu mengintip dan memastikan Bapaknya tidak ada di dalam. Rayna mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tidak ada tanda-tanda Bapaknya ada di dalam. Rayna merogoh saku celananya, mengambil sebuah masker lalu menggunakannya. Rayna takut ada teman Bapaknya yang mengenali dirinya. Setelah merasa situasi aman, Rayna melangkahkan kakinya masuk, suasana tidak seramai tadi, orang-orang yang berprofesi sepertinya sudah selesai menimbang dan mengambil hasil penimbangan. Rayna segera berlari menuju tempat penimbangan, ada dua orang yang berdiri tepat di depannya, yang pertama orang yang bertugas untuk menimbang barang bekas dan yang kedua orang yang memberikan hasil penimbangan.

“Kamu orang baru ya?” orang yang berdiri di samping Rayna bertanya, orang itu tak lain adalah orang yang memberikan hasil dari penimbangan.

“Iya om, saya baru di sini” Rayna menjawab pertanyaan dari orang di sampingnya dengan perasaan takut, takut orang itu mengenali dirinya.

“Ini hasil mulung kamu hari ini” orang tadi menyodorkan beberapa lembar uang kepada Rayna. Tanpa waktu lama Rayna langsung menerimanya, mengucapkan terimakasih dan langsung bergegas untuk pergi dari tempat itu.

 

Penghasilan yang didapatkan Rayna hari ini cukup banyak, Rayna membagi dua uang penghasilannya hari ini, yaitu untuk menabung dan untuk diberikan kepada Ibunya. Rayna memasukkan uangnya ke dalam saku, kemudian berjalan dengan riang menuju rumah. Rasa lapar dia abaikan, keadaan seperti ini sudah biasa dirasakannya. Bahkan saat penyakit maag nya kambuh Rayna tetap tidak memperdulikannya, karena menurutnya kerja dulu baru makan. Di perjalanan Rayna melihat dua orang anak kecil yang tengah mencari-cari sesuatu di tempat sampah, Rayna tidak tahu apa yang sedang dua anak itu cari. Langkah kakinya menuntunnya menuju kedua anak itu.

“Adek, lagi cari apa ?” Rayna bertanya kepada keduanya sambil melemparkan senyuman hangat. Sedangkan kedua anak tadi hanya menunduk tidak menjawab pertanyaannya.

“Adek tidak usah takut yah, kakak bukan orang jahat kok” Rayna menekuk kakinya sampai sejajar dengan anak kecil di hadapannya, mengusap puncak kepala keduanya dengan penuh kasih sayang.

“Aku sama adik aku lagi cari makanan kak, sudah dua hari kita belum makan” anak yang berada di sisi kanan Rayna menjawab yang ternyata kakak dari anak yang satunya lagi.

“Belum makan kenapa, memangnya orangtua kalian ke mana ?” tanya Rayna kepada keduanya, tatapan kedua anak di depannya berubah sendu. Rayna bertanya pada diri sendiri apakah dia sudah salah bertanya.

“Orang tua kami tidak ada kak, kami tidak tahu mereka di mana. Sekarang kita berdua tinggal bersama nenek kami, tapi nenek sedang sakit” seketika Rayna merutuki dirinya sendiri telah salah bertanya. Rayna menjadi sangat kasihan kepada mereka berdua.

“Kalo gitu, ini ada sedikit rezeki. Kalian berdua beli makan sama obat untuk nenek kalian yah” Rayna menyodorkan uang, tersenyum ke arah keduanya dan pamit untuk segera pulang.

 

Rayna melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Tak apalah uang penghasilannya hari ini dia berikan untuk dua anak tadi, setidaknya Rayna masih punya sisanya untuk diberikan kepada Ibunya dan untuk menabung. Tak butuh waktu lama, Rayna sudah tiba di rumah, dengan tergesa-gesa Rayna menyimpan alat untuk memulungnya ke tempat semula. Kemudian masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam lalu bergegas ke kamar untuk membersihkan diri. Rayna di rumah seorang diri, mungkin Ayahnya belum pulang bekerja dan Ibunya mengantarkan hasil jahitannya ke orang yang memesan.

Setelah mandi Rayna beranjak ke meja belajarnya, mengambil buku-buku dan mulai mengerjakan tugas. Rayna adalah salah satu murid berprestasi di sekolahnya dan dengan prestasinya Rayna masih bisa disekolahkan karena beasiswa yang ia dapatkan. Rayna juga mempunyai hobi menulis, baik itu menulis cerpen ataupun puisi. Rayna selalu mengikuti lomba-lomba, sudah banyak piala yang Rayna sumbangkan untuk sekolahnya. Setelah mengerjakan tugas Rayna mengambil laptop yang ada di atas meja samping kasurnya. Laptop itu adalah pemberian pertama dari Bapaknya, Bapaknya rela bekerja pagi, siang dan malam untuk membelikan laptop untuk Rayna. Laptop pemberian dari sang Bapak, Rayna jaga dengan baik dan sampai sekarang laptop itulah yang sering ia gunakan untuk mencari info lomba ataupun untuk belajar.

Sudah ada beberapa karya Rayna yang dibukukan, meskipun masih dalam bentuk antalogi. Rayna sudah bangga karena karyanya diminati oleh penerbit. Ada 3 cerpen yang sudah dibukukan karena Rayna masuk kategori 20 peserta terbaik dalam lomba cerpen nasional. Lalu 2 puisi yang juga sudah dibukukan dalam antalogi puisi. Sekarang Rayna ingin membuat sebuah novel, sudah ada sekitar 190 halaman yang sudah ia ketik. Harapan Rayna selanjutnya adalah semoga ada satu penerbit yang suka dan bersedia membukukan novelnya. Novel yang sekarang ia kerjakan berjudul “Kisahku Bersama Sampah”, cerita yang ia buat, ia ambil dari kisah hidupnya sendiri. Target halaman yang ingin Rayna selesaikan sekitar 220 halaman. Rayna memang mempunyai cita-cita untuk menjadi penulis dan semoga dari karyanya kali ini ia bisa mewujudkan mimpinya dan mengangkat harkat dan martabat keluarganya.

Waktu demi waktu berlalu, sekarang Rayna ada di sekolahnya. Menuntut ilmu adalah kewajibannya. Ia ingin mempunyai pendidikan yang tinggi karena dengan pendidikanlah menjadi awal kesuksesannya kelak. Waktu istirahat telah tiba, teman-teman Rayna yang lain keluar untuk mencari makan, tidak seperti Rayna yang tetap berada di dalam kelas. Rayna membuka tasnya mengambil bekal yang sudah Ibunya siapkan dari rumah. Rayna makan seorang diri, tidak ada yang ingin menjadi temannya. Semua teman sekelas Rayna tahu bahwa dia hanyalah anak dari seorang pemulung yang beruntung bisa sekolah di sekolah elit seperti ini hanya karena beasiswa. Banyak yang tidak suka dengan Rayna di sekolah. Banyak yang mecacinya. Tatapan tidak suka dari teman-temannya sudah biasa ia dapatkan tapi ia tidak mempedulikannya sama sekali karena tujuannya ke sekolah hanyalah untuk menuntut ilmu bukan mencari musuh.

Satu persatu teman sekelasnya sudah kembali ke kelas. Riana dan teman-temannya menatap Rayna dengan tatapan tidak suka. Mereka memang adalah murid yang terkenal di sekolah karena paras wajahnya dan juga kekayaannya. Tapi apa gunanya mempunyai banyak uang jika hanya disalahgunakan. Teriakan dari Riana membuat seluruh murid yang ada di kelas mengerumuninya. Riana marah-marah karena dompetnya yang ada di tas hilang.

“Heyy… kalian semua ngaku siapa yang ambil dompet aku ?” tak ada yang menjawab pertanyaan dari Riana. Semuanya diam, sedangkan Rayna masih anteng di tempat duduknya tanpa ingin ikut campur.

“Emangnya siapa yang tidak keluar dari kelas ?”seketika semua teman kelas Rayna menyahut dan menyebut dirinya. Rayna sendiri menegang di tempat, dia tidak sama sekali melakukan hal sekeji itu.

“Hehhh.. kamu pemulung, kamu kan yang ambil dompet aku, ngaku aja. Kalau butuh uang itu kerja bukannya malah nyopet” ucapan Riana membuat hati Rayna sakit. Rayna tidak bisa lagi menahan amarahnya. Dia tidak rela jika harga dirinya diinjak-injak oleh orang lain.

“Aku memang hanya anak dari seorang pemulung, tapi asal kalian tahu, aku tidak pernah punya keinginan melakukan hal seburuk dan sekeji itu. Aku masih bisa cari uang dengan cara yang halal. Dan ingat satu lagi, jangan pernah bangga dengan status kalian saat ini, mungkin saat ini kalian berada di posisi teratas, tapi semuanya hanya sementara ada saatnya semua berbalik dan kalian berada di posisi terbawah” mata Rayna berkaca-kaca, dia paling tidak suka dituduh sebagai pencuri. Emosinya memuncak dan yang harus ia lakukan adalah menenangkan diri.

“Alaahh.. kamu gak usah sok-sokan ceramahin aku. Mana ada pencuri ngaku, kalau ada yahh.. penjara bisa-bisa penuh. Gimana betulkan teman-teman. Udahlah aku sudah ikhlas, lagian uang aku masih banyak” Riana menjawab dengan angkuhnya lalu berlalu meningggalkan Rayna.

            Rayna saat ini ingin cepat-cepat pulang ke rumah untuk menenangkan pikirannya. Rayna sangat benci dengan orang-orang yang selalu menjelek-jelekkan orang lain yang tak punya apa-apa. Mereka hanya mementingkan ego sendiri tanpa melihat sejauh mana ia melukai orang lain. Hari ini waktu terasa berjalan sangat lama, saat bel pulang sekolah berbunyi, Rayna langsung beranjak dari duduknya dan bergegas untuk pulang. Tatapan-tatapan tidak suka kembali ditujukan untuknya. Bisikan-bisikan menyakitkan kembali terdengar di telinga Rayna. Rayna dengan sekuat tenaga mengabaikannya. Dan sekarang sampailah Rayna di rumahnya. Langsung masuk ke kamar, mengganti pakaian dan segera menuju ke kasur. Rayna berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Mencoba menenagkan diri sesaat sebelum melanjutkan mengerjakan novelnya.

Beberapa menit berlalu, Rayna sudah merasa baikan. Berjala menuju meja belajar lalu mengambil laptop dan kembali ke kasur. Menyalakan laptop dan memulai untuk mengetik. Naskahnya sudah hampir selesai, Rayna sudah ada di akhir cerita. Senyumnya mengembang, kebanggan tersendiri karena sudah menyelesaikan novelnya. Setelah menyimpan filenya, Rayna mempublikasikannya di blog pribadi miliknya berharap ada penerbit yang menyukai karyanya. Beberapa menit menunggu, tiba-tiba laptopnya berbunyi, ada notifikasi yang masuk di email pribadi miliknya. Rayna segera membukanya dan seketika matanya melebar sempurna. Pesan yang masuk mengatakan bahwa naskahnya akan dibukukan jika Rayna bersedia. Yang menghubunginya adalah seorang penerbit terkenal di Jakarta. Rayna membalas pesan dari penerbit itu dan menyetujui semua persyaratannya. Rayna berteriak kegirangan. Akhirnya mimpinya perlahan akan terwujud mulai saat ini.

Sudah satu tahun berlalu, kehidupan Rayna dan keluarganya benar-benar berubah. Sekarang Rayna sudah menjadi sosok penulis yang diidolakan banyak remaja. Semua karyanya banyak diminati karena ceritanya yang menarik. Rayna yang dulu dan yang sekarang tidak banyak berubah dari segi sikap. Rayna tetap menjadi sosok gadis sederhana dan sering membantu banyak orang. Rayna dijadikan sebagai sosok inspiratif di masa sekarang ini. Rayna tidak pernah sombong pada siapapun dan apapun statusnya.

Rayna sangat bersyukur, hidupnya sudah sangat berkecukupan. Bapak dan Ibunya sangat bangga dengan pencapain Rayna. Rayna sering kali diundang ke acara-acara talk show, berbincang-bincang bersama dan menceritakan kisah hidupnya sendiri yang semoga bisa menginspirasi banyak orang. Selepas pulang menghadiri acara talk show, Rayna berencana untuk pulang ke rumahnya, bertemu dengan keluarga dan menghabiskan waktu  bersama. Di perjalanan pulang, Rayna melihat anak-anak yang sedang mengamen di pinggir jalan, Rayna sangat bangga kepada anak-anak yang rela mengerjakan pekerjaan apapun untuk menghidupi keluarga. Rayna kembali mengingat masa-masa tersulitnya dulu. Banting tulang untuk membantu keluarga, menahan rasa lapar dan memungut sampah yang berserakan di jalan. Rayna memberitahu kepada supir pribadinya untuk menepikan mobil. Kemudian Rayna keluar dari mobil, berjalan ke arah anak-anak pengamen tadi, menyapa mereka dan tersenyum manis.

“Assalamualaikum, halo adik-adik” Rayna menyapa sambil melambaikan tangan.

“Wa’alaikumussalam, hai kak”

“Adik-adik kakak mau tanya boleh?”

“Iya boleh kak, tapi kita ke sana dulu kak” salah satu dari anak-anak di depannya menunjuk ke arah bawah jembatan yang terlindungi dari panas matahari. Rayna dan anak-anak pengamen berjalan ke sana.

“Kakak mau tanya yah. Kenapa kalian kerja jadi pengamen?” Rayna bertanya dengan hati-hati karena takut salah bicara.

“Mau bagaiman lagi kak, kalau tidak kerja kita makan apa. Orangtua kita juga tidak bisa menghidupi kita semua. Kami semua bersaudara kak. Bapak kami sudah meninggal dan Ibu kami sudah sakit-sakitan, jadi kami yang harus menggantikan peran Ibu. sekarang giliran kami anak-anaknya yang merawat dan berusaha menghidupi Ibu. Ibu sudah cukup tersiksa selam ini hanya karena kita semua, banting tulang sendiri, kerja pagi, siang dan malam sampai-sampai Ibu lupa akan kesehatannya sendiri. Jadi inilah alasan kami bekerja sebagai pengamen kak” salah satu anak di depannya menjawab, Rayna menebak dialah yang paling tertua atau kakak dari anak-anak yang lain. Mendengar jawaban dari anak tadi, hati Rayna seakan luluh. Anak-anak ini sama sepertinya dulu, bekerja untuk menghidupi keluarga. Rayna tidak sanggup lagi menahan air matanya dan kini pipinya sudah basah. Rayna memeluk anak-anak pengamen di depannya. Berusaha menguatkan dan memberikan motivasi agar mereka semua tetap berusaha sampai meraih cita-cita. Rayna berjanji akan menyekolahkan mereka sampai tamat. Anak-anak itu seketika tersenyum riang dan tak hentinya mengucapkan terima kasih kepada Rayna. Sedangkan Rayna hanya tersenyum dan kembali memeluk mereka semua dengan penuh kasih sayang.

“Kakak pergi dulu yah adik-adik. Ini ada sedikit rezeki dari kakak, jangan dilihat jumlahnya yah. Uang ini kalian gunakan untuk beli makanan dan obat untuk Ibu kalian. Jaga Ibu kalian dengan baik yah, tetap berbakti sama Ibu dan jangan pernah kalian lupakan kewajiban kalian untuk beribadah kepada Allah. Kakak pergi dulu, salam untuk Ibu kalian” Rayna kemudian berjalan menuju mobilnya. Duduk dengan nyaman di dalam mobil. Mengingat kembali ucapan anak tadi. Rayna kembali tersenyum bersamaan dengan air matanya yang kembali turun membasahi pipi.

            Sejak kejadian saat itu, Rayna sadar bahwa masih banyak anak-anak yang jauh lebih memprihatinkan daripada dirinya dulu. Rayna semakin semangat bekerja untuk keluarganya dan juga untuk anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya sekarang. Anak-anak pengamen yang ia sekolahkan. Rayna juga menyumbangkan karya-karyaya kepada anak-anak penderita kanker. Mereka semua suka kepada Rayna dan juga suka kepada buku-buku yang Rayna berikan kepada mereka sebagai hadiah. Rayna merasa sangat berguna hidup di dunia ini, setidaknya dia bisa membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Karyanya yang banyak  dijadikan sebagai motivasi hidup kepada semua orang membuatnya merasa bahagia.

“Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika melihat orang lain tersenyum karena perbuatan kita. Jangan pernah putus asa ketika berusaha. Jangan pernah takut untuk memulai sesuatu dan jangan pernah takut untuk gagal. Kesedihan yang sering kali datang bercampur dengan sebuah penyesalan harus kita hadapi dengan ketegaran. Titik terendah itu bukanlah titik terakhir kita, titik terendah bukanlah titik di mana kita harus menyerah, justru yang terjadi adalah sebaliknya, titik terendah itulah yang akan menjadi pijakan untuk kita berdiri tegar mencapai sebuah kesuksesan” kalimat itulah yang sering Rayna katakan pada orang-orang sebagai motivasi, dan karena kalimat itu juga yang selalu Rayna tanam pada dirinya sehingga membawa Rayna pada kehidupannya sekarang ini.

 

Penulis: Fitri Aulia Ramadhani (PBI-B Angkatan 2020)