Memprediksikan Kehidupan Akhirat (Tanggapan atas Gagasan "Kuantifikasi Pahala" Prof. Hamdan Juhannis

  • 12:00 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Oleh Muhsin Mahfudz
Dosen Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

Seringkali terdengar dari atas mimbar bahwa siapapun yang timbangan pahalanya lebih berat dari pada dosanya maka ia akan masuk surga. Sebaliknya, jika dosanya lebih berat dari pahalanya maka ia akan masuk neraka.

Pernyataan yang aksiomatik ini memiliki konsekuensi yang sangat berat, tetapi hampir tidak terlihat efek langsung dalam kehidupan muslim. Karena itu, diperlukan suatu metode agar aksioma itu memiliki efek motivasi dalam kehidupan sosial. Salah satu metode yang perlu digagas adalah “kuantifikasi pahala”. Demikian, sepenggal penjelasan Prof. Hamdan Juhannis, Guru Besar Sosiologi UIN Alauddin, pada ceramah kultum (kuliah tujuh menit) di Mesjid Kampus UIN Alauddin Samata, Gowa, 19/8/2010 yang lalu.

Suatu gagasan yang perlu diapresiasi karena ia berangkat dari kegelisahan seorang intelektual muslim yang melihat umat Islam sering meremehkan kuantifikasi pahala dalam berbagai teks al-Qur’an dan Hadis. Sementara, surga yang menjadi tujuan akhir umat Islam mensyaratkan tingginya jumlah pahala dibandingkan dengan jumlah dosa (QS. al-Qari’ah/101:6-9). Untuk menyadarkan pentingnya memperbanyak pahala (kebaikan), maka diperlukan adanya ijtihad untuk melakukan kuantifikasi pahala sebagai konkritisasi apakah posisi kehambaan kita layak menyandang penghuni surga atau neraka.

Pernahkah kita menyadari seberapa mungkin pahala shalat kita mampu mengantar kita kepada surga? padahal Hadis Rasulullah saw. selalu mengingatkan kita untuk menghitung-hitung prestasi pahala yang kita perbuat (hasibu anfusakum qabla an tuhasabu). Ambillah mesin penghitung! lalu hitunglah dengan matematika sederhana. Misalnya, kita menghitung rumus kuantifikasi pahala shalat seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “shalat berjama’ah lebih baik 27 derajat dibandingkaa dengan shalat sendirian”. Begitu juga rumus kuantifikasi pahala membaca al-Qur’an dalam shalat, seperti hadis yang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib, “Siapapun yang membaca al-Qur’an dalam shalat maka untuk setiap hurufnya ia mendapatkan 100 pahala kebaikan, di luar shalat dengan wudhu mendapatkan 25 pahala kebaikan, di luar shalat tanpa wudhu mendapatkan 10 kebaikan”.

Jika diasumsikan, bahwa seorang yang mendirikan shalat wajib 5 x sehari yang terdiri dari 17 rakaat dan dalam shalatnya membaca al-Fatihah (139 huruf), surah al-Kafirun (95 huruf) pada rakaat pertama dan surah al-Ikhlas (47 hururf) pada rakaat kedua kemudian setiap hurufnya dikalikan 100, berdasarkan hadis di atas, maka dapat dihitung dengan matematika sederhana seperti berikut: (r x fh)+(r x kh)+(r x ih) x 100 = x, di mana r = rakaat h=huruf f=al-Fatihah, k=al-Kafirun , i=al-Ikhlas dan. Jadi (17 x 139)+(5 x 95)+(5 x 47) x 100 = (2363+475+235) x 100 = 3073 x 100 = 307.300. Hasil ini, jika dikalikan dengan 1 tahun (365 hari) maka didaptkan angka 112.164.500. Jika setiap orang rata-rata berumur 60 tahun maka 112.164.500 x 60 = 6.728.870.000. Belum lagi jika shalat yang didirikan secara berjamaah (27 kali lipat) maka 6.728.870.000 x 27 = 181.706.490.000.

Kemudian, jika shalat tersebut dilakukan dalam Bulan Ramadhan maka 181.706.490.000 x 2 = 363.412.980.000 Bahkan, jika shalat tersebut dilakukan di depan Ka’bah meskipun hanya 1 kali maka pahalanya lebih baik dari seisi Bumi. Hitunglah berapa besar diameter Bumi, lalu berapa kebaikan material yang disiapkan oleh Allah di permukaan dan dalam perut Bumi. Hingga di situ, mesin penghitung yang saya gunakan tidak mampu lagi menampung angka-angkanya. Subhanallah, hitungan di atas baru sebatas bacaan al-Qur’an dalam shalat dengan surah yang sangat pendek. Bagaimana dengan amalan-amalan sosial di luar shalat yang tentu jauh lebih banyak jumlah pahalanya?

Memprediksikan akhirat melalui kuantifikasi pahala, sebagaimana gagasan Prof. Hamdan, merupakan gagasan yang menarik. Semakin sering seseorang menghitung-hitung pahala kebaikannya atau kesalahannya dalam setiap hari, akan membentuk mental muhasabah (evaluasi diri) yang semakin baik, sehingga akan selalu muncul motivasi menambah pahala dan mengurangi dosa. Hanya saja, beberapa hal perlu mendapatkan pertimbangan, Pertama, pahala bukan masalah kuantitas belaka melainkan juga masalah kualitas. Ketika hanya berkutat pada angka-angka dan mengabaikan nilai di balik angka, maka ia akan dihitung sebagai perbuatan yang formalistik. Dalam metodologi penelitian, gagasan tersebut bagaikan pertarungan antara aliran Positivistik dan Penomenologi atau Kuantitatif dan Kualitatif. Artinya, diperlukan seperangkat formulasi yang dapat mejelaskan unsur-unsur terpenuhinya reliabilitas suatu pahala, karena akan banyak variabel penggangu yang akan merusak kualitas pahala, misalnya perbuatan baik yang dilandasi oleh niat yang rusak.

Kedua, terdapat sejumlah amal yang pahalanya dirahasiakan oleh Allah dan tidak mungkin dikuantifikasi, seperti ibadah Puasa yang sedang kita tunaikan. Allah SWT. dalam salah satu Hadis Qudsi berfirman: “seluruh amal anak cucu Adam (pahalanya) tergantung kepadannya, kecuali Puasa karena tergantung kepada-Ku dan hanya aku yang menentukan pahalanya” Terlepas dari segala hikmahnya, kita sangat sulit membawa persoalan puasa ke dalam dunia kuantitatif. Karena itu, jika ingin menggunakan pendekatan kuantifikasi pahala maka akan ada pengecualian pada amal-amal tertentu.

Ketiga, diperlukan teori tertentu yang dapat mengidentifikasi wilayah amal kebaikan yang pahalanya masuk wilayah kuantitatif karena sejak dini sudah ada peringatan Allah SWT. untuk tidak mencoba-coba menghitung rahmat-Nya. Bukan karena berdosa tetapi kita tak akan mampu (QS. Ibrahim/14: 34). Jika pahala dianggap bagian dari rahmat Allah SWT. maka kita tidak dapat menghitungnya juga.

Sebagai upaya konkritisasi peran pahala bagi kehidupan, kuantifikasi pahala termasuk gagasan cerdas yang patut diapresiasi. Boleh jadi, dengan terus mengevaluasi nilai kebaikan yang dilakukan setiap saat melalui angka-angka, kita dapat memprediksi kehidupan akhirat, apakah akan masuk surga atau neraka. Meskipun demikian, kita tidak boleh mengabaikan bahwa Allah SWT. tidak memberikan rahmat-Nya semata berdasarkan pertimbangan kuantitas tetapi juga berdasarkan kualitas karena sungguh kemahaluasan rahmat dan rahim Allah SWT. adalah perkara yang tak terhingga. Allah a’lam bi al-shawab.