Relasi Mahasiswa dan Perguruan Tinggi (Refleksi Terhadap Pemecatan Mahasiswa UIN Alauddin)

  • 12:00 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Oleh Hadi Daeng Mapuna
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar/
Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Alauddin, 1991-1992.

Rasanya tidak berlebihan jika Penulis mengucapkan selamat kepada Pimpinan UIN Alauddin Makassar yg telah memecat 13 mahasiswanya, pada 22 September lalu, yang menjadi biang kerusuhan 1 September 2010.

Ucapkan selamat ini patut diberikan mengingat tindakan yg dilakukan oleh oknum mahasiswa tersebut sudah diluar batas-batas kewajaran, bukan hanya menghambat proses pendidikan dan pengajaran tetapi juga merusak fasilitas milik negara. Bahkan, lebih parah lagi, mereka yang mau mengatur pimpinan universitas. Seolah-olah semua yg dirancang dan dilaksanakan oleh pimpinan universitas, salah. Hanya mereka yang benar. Sungguh sebuah realitas yang tidak pantas, apalagi dilakukan oleh para pembelajar, mahasiswa.

Dapat dipastikan, tindakan pemecatan yg dilakukan pimpinan UIN Alauddin itu akan menuai kontroversi. Namun, satu hal yg pasti pimpinan UIN Alauddin sudah melakukan tindakan tegas yang selama ini --harus diakui-- diharapkan banyak orang.

Perguruan Tinggi dan Mahasiswa
Perguruan tinggi dan mahasiswa sesungguhnya merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Ada kampus (perguruan tinggi) ada mahasiswa. Sebuah gedung megah yang mengklaim diri sebagai perguruan tinggi tetapi tidak memiliki mahasiswa, tidaklah dapat disebut sebagai perguruan tinggi. Sebaliknya, seseorang yang mengaku sebagai mahasiswa tetapi tidak memiliki kampus ia juga tidak dapat disebut sebagai mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa dan kampus saling membutuhkan dan memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya.

Meskipun demikian, antara mahasiswa dan kampus memiliki posisi, peran dan tanggung jawab yang berbeda. Mahasiswa adalah mereka yang dengan sadar mengikatkan diri dalam sebuah perguruan tinggi, melalui proses pendaftaran --dan karena itu dia disebut sebagai mahasiswa-- dengan maksud untuk menimba ilmu pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai luhur (perdaban) dari perguruan tinggi tersebut.

Agar eksistensi dan tujuan ke-mahasiswa-an bisa terwujud maka mahasiswa harus mengikuti seluruh prosedur, mekanisme dan instrumen-instrumen yang telah ditetapkan oleh perguruan tinggi tersebut dan/atau oleh pemerintah (jika perguruan tinggi negeri) melalui Departemen Pendidikan Nasional atau departemen lain yang terkait. Mahasiswa yang dengan penuh kesadaran mengikatkan diri pada perguruan tinggi tersebut wajib hukumnya mengikuti semua prosedur, mekanisme dan instrumen-instrumen yang ada. Sebab, semua itu merupakan "jembatan" bagi tercapainya tujuan yang diharapkan sejak awal menjadi mahasiswa.

Jika seluruh prosedur, mekanisme dan instrumen-instrumen ditaati dengan penuh kesadaran dan semangat sebagai seorang pembelajar, maka seorang mahasiswa akan dapat menyelesaikan studinya (S1) selama empat hingga tujuh tahun. Jika tidak ia akan di DO (drop out) oleh perguruan tinggi tersebut.

Dengan demikian posisi mahasiswa di perguruan tinggi sifatnya temporer. Karena itu, seharusnya mereka fokus pada tujuan awal mereka menjadi mahasiswa, yakni menimba ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai luhur sebanyak-banyaknya sehingga pada saatnya nanti mereka abdikan kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Bagaimana dengan kampus atau perguruan tinggi? Apa peran, tanggung jawab serta di mana posisinya dalam hubungannya dengan mahasiswa?

Perguruan Tinggi adalah sebuah lembaga yang diadakan sebagai tempat mentransfer ilmu (transfer of knowledge) dan nilai-nilai luhur (transfer of value). Di kampus perguruan tinggi, mahasiswa dan dosen berinteraksi dalam rangka transfer ilmu dan nilai-nilai luhur. Kegiatan yang dilakukan secara sadar tersebut dibingkai dengan berbagai instrumen tata tertib dan peraturan-peraturan yang memungkinkan seluruh proses tersebut berjalan dengan baik serta mencapai tujuan yang diharapkan.

Kampus atau perguruan tinggi menyiapkan sarana dan fasilitas pendukung sesuai dengan kebutuhan civitas akademika. Namun demikian, berkaitan dengan penyiapan sarana dan fasilitas kampus tidak terlepas dari kemampuan perguruan tinggi tersebut. Juga kemampuan pemerintah jika itu perguruan tinggi negeri. Inilah salah satu faktor yang membedakan antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya. Dan ini pula salah satu alasan bagi calon mahasiswa untuk memilih atau tidak memilih perguruan tinggi tersebut.

Dari uraian di atas, tampak bahwa perguruan tinggi berposisi sebagai fasilitator bagi mahasiswa untuk memperoleh apa yang diharapkan sejak awal menjadi mahasiswa. Peran dan tanggung jawab Perguruan tinggi adalah membantu, membimbing, dan mengarahkan mahasiswanya agar menjadi insan-insan akademik yang memiliki kapasitas intelektual dan integritas pribadi yang tinggi, yang akan menjadi SDM-SDM berkualitas di berbagai lapangan kehidupan masyarakat.

Semua perguruan tinggi berlomba untuk memberikan pelayanan dan pembinaan terbaik bagi mahasiswanya. Harapannya adalah agar mahasiswa yang mereka bina, kelak akan menjadi sarjana yang unggul dan mampu bersaing dengan para sarjana lain, baik dalam rangka memasuki dunia kerja maupun menciptakan lapangan kerja. Dengan begitu citra perguruan tinggi tersebut akan semakin baik dan sudah pasti akan diminati oleh para calon mahasiswa.

Jika suatu perguruan tinggi mampu menghasilkan sarjana yang memiliki kualitas intelektual yang handal dengan integritas pribadi yang mulia, maka dapat dikatakan perguruan tinggi tersebut berhasil menjalankan peran dan tanggung jawabnya dalam mencetak kader-kader generasi bangsa yang akan membangun negeri ini ke arah yang lebih baik, kini dan esok.

Dalam kerangka itu, masing-masing perguruan tinggi menyusun program-program pembinaan yang "khas" bagi peguruan tinggi tersebut, baik melalui lembaga kemahasiswaan maupun program-program insidentil saat penyambutan mahasiswa baru.

Akan halnya UIN Alauddin (dulu IAIN; Alauddin) yang saat ini telah berusia 45 tahun, tidak terlepas dari paradigma pembinaan mahasiswa, sebagai diuraikan di atas. Bahkan, dalam dua peiode kepemimpinan Prof Dr Azhar Arsyad (2002-2006 dan 2006-sekarang), intensitas  pembinaan kepribadian (charracter building) mahasiswa dan civitas akademika sangat tinggi.

Sejak awal, Azhar Arsyad mencanangkan Perguruan Tinggi Islam Negeri terbesar di Indonesia Timur itu,  sebagai pusat Peradaban Islam. Seluruh civitas akademika diharapkan tampil dengan pola pikir, pola sikap, dan tingkah laku sebagai manusia-manusia yang berperadaban.

Di tahun pertama (semester I dan II), mahasiswa dibina melalui Program Pengembangan diri, PIKIH (Pencerahan Imani dan Keterampilan Hidup). Melalui kegiatan PIKIH, sikap mental dan rohani mahasiswa diasah sehingga mereka dapat memahami dirinya, baik sebagai keluarga besar mahasiswa UIN Alauddin --sekaligus keluarga besar mahasiswa Indonesia-- maupun sebagai mahluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan masyarakat luas. Mahasiswa dibina dan diarahkan dalam bentuk aktivitas bersama, memberi apresiasi terhadap orang lain dan selalu berpikir posistif (postive thinking).

Di tahun-tahun akhir kepemimpinannya, Azhar Arsyad gencar mengampanyekan apa yang disebutnya sebagai Inner Capacity di lingkungan civitas akademika. Inner Capacity adalah sebuah konsep mengeksplorasi kemampuan "dalam" (baca: batin; batiniah) atau fitrah yang dimiliki oleh masing-masing individu sebagai anugrah Allah swt., untuk dijadikan sebagai sifat dan sikap dasar dalam kehidupan. Fitrah akan mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang baik dan positif, suka menolong orang lain, mampu bekerjasama dalam suasana saling menghargai, toleran, sabar dan suka menebar kebaikan. Mereka menyukai keindahan, kebersihan dan keteraturan (ketertiban). Sebaliknya, mereka anti perbuatan-perbuatan yang tidak baik (maksiat) dan merusak.

Jadi, sangat ironis jika ada yang mempertanyakan pembinaan apa atau model pembinaan yang bagaimana yang telah dilakukan oleh UIN Alauddin, sehingga sudah merasa layak untuk memecat mahasiswa? Bertambah ironis lagi jika pertanyaan itu muncul dari kalangan dosen UIN sendiri. Sungguh luar biasa ironisnya.

Perguruan Tinggi dan Kapal Laut
Sebuah perguruan tinggi sesungguhnya dapat diibaratkan sebagai sebuah kapal Laut. Kapal dipimpin oleh seorang Kapten dan dibantu oleh para Mualim dan Anak Buah Kapal (ABK) dengan posisi dan tanggung jawab masing-masing.    

Kapten bertanggung jawab atas seluruh aktivitas di atas kapal. Kapten dibantu oleh para Mualim, memimpin seluruh aparat di atas kapal dalam menjalankan tugas masing-masing sehingga kapal terawat dengan baik, bersih, aman dan menyenangkan bagi setiap penumpang yang menggunakan jasa kapal tersebut untuk mengantarnya ke pulau tujuan. Di atas kapal juga dilaksanakan beberapa program sebagai bagian dari servis kepada penumpang.

Kapal seperti itu pasti diminati oleh banyak orang walaupun mereka harus membayar mahal. Sebab, yang terpenting bagi penumpang adalah kapal tersebut mampu membawanya dengan aman dan menyenangkan untuk mencapai tujuan dengan selamat. Untuk itu, seorang penumpang yang baik, selain harus membayar tiket, juga berkewajiban mematuhi seluruh peraturan dan tata tertib di atas kapal. Kalau ada yang kurang berkenan di hati atau mengganggu kenyamanannya, ia dapat menyampaikan aspirasinya kepada ABK atau ke pejabat di atas kapal. Tidak perlu mengamuk apalagi merusak kapal. Kapal itu bukan milik nenek moyangnya. Kalau itu yang dilakukan ia dapat dihukum dan diturunkan dari kapal sebelum pulau harapan tercapai.

Seorang penumpang yang tidak senang dengan kapal, baik dari segi fasilitas maupun pelayanan, ia dapat memilih kapal yang lain. Kalau perasaan kecewanya teramat dalam, ia dapat merekomendasikan kepada keluarga atau sahabat-sahabatnya untuk tidak memilih kapal tersebut jika mau berlayar. Sebuah sikap yang sesungguhnya tidak baik tetapi lebih bagus ketimbang mengamuk dan merusak kapal.

Lantas, perguruan tinggi?  Sejatinya seperti itulah.  Rektor adalah Kapten dan Mahasiswa adalah "penumpang" yang menggunakan jasa perguruan tinggi pilihannya untuk membantunya menggapai impian indah di masa depan.

Untuk itu, mereka harus mengikuti seluruh prosedur, instrumen dan segala hal yang telah diatur oleh perguruan tinggi tersebut. Jika ada gagasan atau pikiran-pikiran cerdas atau aspirasi-aspirasi, dapat disampaikan kepada dosen, karyawan atau pimpinan.

Lalu, jika ada hal-hal yang kurang berkenan dan merasa tidak cocok dengan keinginannya, apakah harus demonstrasi dan merusak kampus? Tidak boleh. Sebab itu hanya akan merugikan diri sendiri dan bahkan merugikan negara. Apa yang harus dilakukan? ya, seperti penumpang kapal. Tinggalkan perguruan tinggi itu dengan baik-baik dan masuk ke perguruan tinggi lain yang dianggap lebih cocok.

Sejatinya, sikap seperti itulah yang seharusnya dimiliki oleh seorang pembelajar, seorang mahasiswa, calon intelektual, calon penerima tongkat estafet pembangunan bangsa dan masyarakat, yang memiliki hati nurani dan peradaban.(*)